Jumat, 05 Desember 2025

MAKNA UPACARA MAPEGAT




Mapegat berasal dari kata “pegat” yang berarti putus. Dengan menggunakan banten papegat, upacara Mapegat ini dilaksanakan bertujuan untuk memutuskan ikatan duniawi dan sekaligus untuk meningkatkan kesucian atman seseorang yang telah meninggal dunia sebagai rangkaian upacara ngaben di Bali. Upacara yang juga disebut Mapepegat ini dilaksanakan di pintu kori masuk pekarangan rumah. Mereka yang mengantarkan ke setra, menyelenggarakan upacara mepepegat, sebagai simbol pemutusan hubungan duniawi ini dengan sang meninggal yang sarananya disamping bebantenan satu soroh dengan tali benang yang dihubungkan pada daun carang dapdap.Setelah selesai banten (yadnya) dihaturkan, tali benang ini dilabrak masuk hingga putus yang menandai bahwa putusnya sebuah hubungan.





#bali #baliindonesia #taksu #taksubali #taksu_bali #upakara #bantenbali #canangsari #hindu #hindubali #pura #tradisibali #infobali #infodenpasar

Candi Sumur, juga Candi Pari




Candi Sumur, juga Candi Pari, dibangun untuk mengenang tempat hilangnya seorang sahabat/adik angkat dari salah satu putra Prabu Brawijaya dan istrinya yang menolak tinggal di keraton Majapahit di kala itu.
Lingga-yoni yang menjadi ciri bahwa Candi Sumur adalah candi yang berlatar agama Hindu, kini tidak ditemukan lagi. Candi ini diperkirakan didirikan pada abad ke-14 Masehi, sezaman dengan Candi Pari.
Candi ini berlokasi di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sekitar 100–200 m sebelah barat daya Candi Pari.
Didirikan pada masa yang sama dengan Candi Pari, keduanya termasuk dalam cagar budaya di Kabupaten Sidoarjo.
Saat ini candi dalam keadaan rusak, tinggal sisa dari bagian dinding sebelah timur dan selatan, beserta lantai dan fondasi bangunan. Candi Sumur ini diperkirakan dibangun bersamaan dengan Candi Pari, dan seperti halnya Candi Pari, Candi Sumur juga terbentuk dari susunan bata merah. Susunan bata pada bangunan candi ini mengarah hadap ke barat.
Pada bangunan candi ini juga tidak ditemukan ukiran atau relief-relief yang menghias dinding atau kaki candi. Bentuk unik hanya terlihat dari susunan anak tangga yang berada di sisi selatan candi. Anak tangga ini cukup "curam" dan tidak memiliki dinding tangga di bagian sisinya, sehingga perlu kehati-hatian bila pengunjung ingin menaikinya dikarenakan bata penyusun anak tangga atau tempat berpijak kaki itu sendiri tidak tersusun rata dan rapi...


TRADISI USABA DODOL DESA SELAT DUDA KARANGASEM

 



Usaba Dodol, berlangsung setiap tahun di Desa Duda, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali. Tradisi ini dilaksanakan saat Tilem Kesanga, di Pura Dalem Selat, sehingga sering disebut Usaba Dalem. Keunikan tradisi ini, membuat masyarakat dan wisatawan berdatangan ke Selat tepat sehari sebelum Hari Raya Nyepi, khusus untuk menyaksikan kemeriahan Usaba Dodol. Sebelum tradisi dilangsungkan, maka jero desa akan beramai-ramai ‘berburu’ pisang kayu di kebun-kebun penduduk. Apabila pisang kayu telah ditemukan, selanjutkan akan disucikan dan diletakkan di bagian jeroan pura. Acara kemudian berlanjut dengan persembahyangan dan akan di-puput Ida Pedanda. Tatkala persembahyangan usai, di senja harinya pisang kayu akan ditanam sebagai pertanda mengembalikan lagi ke bumi. Di lain pihak, di antara prosesi persembahyangan itu, beberapa warga akan sibuk menghaturkan dodol berbagai ukuran. Biasanya orang yang mempersembahkan dodol berukuran ‘raksasa’ karena mempunyai kaul. Jika dodol berukuran normal, tentu biaya pembuatannya tidak memberatkan. Namun, pada dodol pembayar kaul yang sering ukurannya sangat besar, maka baik biaya maupun pengerjaannya dilakukan beramai-ramai dalam suatu keluarga besar. Hal ini membuat proses pembuatan dodol sama sekali tidak memberatkan dan justru memperat hubungan kekeluargaan di antara mereka. Kegiatan ini benar-benar menyisakan kesan mendalam tentang sebuah persembahan yang ikhlas dan terekatnya lebih erat jalinan hubungan kekeluargaan. 

Memenjor hanya saat Galungan Nadi.

 


Petikan Sundari gama
Anggara Wage, penampaan ngaran, yatapanadah Ira butha galungan marmaning pasanggraha, dening prakerti ring desa wehanabuta Yadnya rikeng catuspata, sarupa Ning Yadnya wenang, manuta nista, Masya utamania, pinuja dening sang pandita juga, ngawastonakna, Siwa Budha, sire wenang
Kunang sakweh ikang sanjata prayascitaken, jaya jaya de sang pandita, tekeng jadmania, hapania Prakosa pratameng wekakna, paracaru ring sakuwen kuwen kunang, dening Sega warna 3, tandingania manut Urip
Petak (putih)5, Abang (barak) 9, Ireng (selem)4, iwaknia olahan babi, Saha tabuhan segehan agung1, genahing Natar umah, ring sanggar Muang ring dengen, sambat sang skala Niskala palania jaya Prakosa ri paperangan
Anggara Wage dungulan persembahannya, dicatus PATA ada buta galungan meminta diberikan sebuah persembahan dengan adanya 3 butha
Di tegak karang umah ada 2 persembahan di natah umah dan di depan pintu masuk rumah bagian kanan
Dari sini adanya ingolah babi nantinya sebagai pelengkap upakaranya
Tapi jika diamati dengan cermat PENAMPAAN brarti sigap menerima atau siap memikul
Diambil dari bahasa NAMPA yg berarti memangku atau mempersiapkan sesuatu, dimana jika qta masuk ke besoknya adalah galungan brarti angara Wage adalah waktu terahir persiapan dari galungan
Tegak karang umah ( kala raksa) tugu di bagian barat Utara.
ada Siwa yg akan turun kedunia dari uluning kauh
Sebuah persembahan kepada kala raksa sering disebut ngaturang BEBAKARAN BALUNG GEGENDING dihaturkan disor Pelinggih (ketatwaning kala bang)
Ada 3 hal yg dilakukan di penampaan galungan
1. Menghaturkan Bebakaran balung gegending di sor Pelinggih
2.menghaturkan segehan agung di natah umah
3. Menghaturkan segehan tiga didepan bagian kanan pintu masuk pekarangan rumah
Memenjor disaat GALUNGAN NADI ( galungan yg bertemu dengan ruang purnama) disaat ini NAK BALI pasti akan memenjor
Bisa dipelajari ( usana Bali, Sanghyang tapeni, Widhi tatwa, Yadnya prakerti, tutur ngewangun pekarangan mungkin banyak lagi ada literasi yg mencantumkan bahasa Penjor atau memenjor)

Kalau Tradisi Jadi Tekanan, Apa Masih Kita Sebut Sakral?

 


Jujur aja ya, kadang aku mikir… berat banget jadi anak muda Bali zaman sekarang.
Kemarin aku nonton satu podcast, dia bilang katanya tingkat bunuh diri paling tinggi itu di Bali. Entah itu bener atau nggak, tapi kalau aku lihat realita yang ada, aku bisa ngerti sih kenapa wacana kayak gitu bisa muncul.
Bali ini indah, iya. Budayanya megah, sakral, luar biasa. Tapi di balik itu, ada tekanan yang gak semua orang berani ngomongin. Salah satunya soal adat dan upacara. Di satu sisi, ini warisan leluhur yang harus dijaga. Tapi di sisi lain, biaya buat ngejalaninnya tuh… gak main-main.
Banyak anak muda di Bali yang sekarang hidupnya udah susah: cari kerja susah, harga kebutuhan naik, penghasilan gak seberapa. Tapi tiap ada upacara adat, mereka dituntut buat “tetap jalanin” dengan standar yang tinggi—karena takut dibilang gak hormat sama leluhur, takut dikatain tetangga, atau takut ngecewain orang tua. Jadinya? Banyak yang sampai harus ngutang, jual motor, bahkan ngorbanin tabungan masa depan demi ngejaga image dan kehormatan keluarga.
Aku pribadi, secara finansial bisa dibilang aman. Tapi aku juga gak bisa tutup mata lihat teman-teman seumuran aku yang harus mikirin antara bayar cicilan atau biaya upacara. Mereka bukan gak cinta budaya, bukan juga males ikut adat—mereka cuma lagi kepepet sama realita. Dan sayangnya, gak semua orang berani jujur soal ini. Banyak yang pura-pura kuat, pura-pura sanggup, padahal di dalamnya udah meledak.
Gak sedikit juga yang akhirnya stres. Karena ketika lo terjepit antara “gak enak sama orang tua dan masyarakat” dan “gak punya duit buat hidup layak”, itu bisa bikin orang ngerasa gak punya jalan keluar. Di titik itulah, sebagian orang mungkin ngerasa satu-satunya cara buat bebas ya… dengan cara paling sunyi: ngakhirin hidupnya sendiri.
Sedih banget sih kalau sampe harus ke situ. Makanya aku pikir ini saatnya kita mulai berani ngomong. Gak semua tradisi harus dijalani dengan cara yang sama kayak jaman dulu. Bukan berarti ninggalin adat, tapi nyari versi yang lebih masuk akal buat kehidupan sekarang. Upacara gak harus mewah, gak harus bikin orang ngutang. Yang penting niat dan ketulusan.
Mungkin ini saatnya juga para pemangku adat, tokoh masyarakat, dan orang tua mulai buka telinga. Dengerin curhatan anak-anak muda. Bukan buat ngelawan, tapi buat nyari titik tengah. Karena kalo terus-terusan kayak gini, yang kita jaga cuma bentuknya doang, tapi isi dan makna tradisinya malah pelan-pelan hilang.
Aku nulis ini bukan buat nyindir siapa-siapa, tapi karena aku peduli. Karena aku tahu rasanya hidup di tengah dua dunia: budaya yang aku hormati dan realita yang kadang kejam.
Dan buat yang ngerasa capek, ngerasa sendiri, percaya deh… kamu gak sendirian.

Dewa Gde Wisnu II 

Fenomena warga lebih memilih beli penjor

 



Sekarang banyak yang beli penjor jadi karena praktis, padahal dulu banyak yang buat sendiri bareng keluarga-lebih hemat dan ada nilai kebersamaan juga. Warga makin sibuk, ruang terbuka makin sempit, nilai kebersamaan makin jarang ditemui... jadi penjor bukan lagi hasil gotong royong, tapi barang dagangan.

Fenomena warga lebih memilih beli penjor jadi itu sebenarnya mencerminkan banyak hal yang lagi terjadi di kota seperti Denpasar:
Perubahan Pola Hidup
Warga sekarang sibuk, ritme kerja cepat, apalagi yang tinggal di perkotaan. Tradisi yang butuh waktu dan tenaga jadi kalah sama yang praktis. Membuat penjor itu nggak cuma butuh bahan, tapi juga waktu, tempat, dan keterampilan.
Dulu penjor itu simbol persembahan dan kebersamaan keluarga. Sekarang, jadi produk. Ada harga, ada level-dari yang ekonomis sampai yang "wah." Bahkan ada jasa antar. Praktis, tapi juga menggeser makna.
Hilangnya Transfer Pengetahuan
Kalau orang tua nggak ngajarin anak buat penjor, dan anak nggak sempat ikut terlibat, nanti bisa-bisa generasi berikutnya nggak tahu cara bikin sama sekali. Budaya hanya tinggal simbol, bukan lagi proses.
kita juga nggak bisa nyalahin warga sepenuhnya. Realita hidup makin berat, tuntutan makin tinggi. Kadang beli penjor adalah satu-satunya jalan biar bisa tetap efisiensi waktu.
Beli penjor bukan kesalahan tapi pertanda kalau Masyarakat makin pragmatis,
Waktu luang makin langka,
Tradisi makin dipertahankan secara simbolis, bukan prosesnya.
Kalau tradisi itu bukan cuma hasil akhirnya, tapi juga prosesnya. Kalau bisa beli, ya bagus. Tapi kalau masih bisa bikin, apalagi bareng keluarga itu jauh lebih bermakna.
Padahal dari dulu, esensi penjor itu bukan soal mahalnya, tapi niat, ketulusan, dan maknanya sebagai persembahan. Penjor sederhana tapi dibuat sendiri jauh lebih berharga daripada yang mahal tapi hanya sekadar formalitas.
JADI LEBIH BAIK BELI ATAU BUAT BARENG KELUARGA ?
Sumber: @denpasarcerita 

“Keajaiban Danau-Danau di Bali: Warisan Letusan Purba dan Salah Satu Keajaiban Geologis di Dunia.



Di tengah kecilnya Pulau Bali, alam mempersembahkan keajaiban geologis dan spiritual yang luar biasa: empat danau besar yang tersebar di antara tiga gunung paling sakral di Bali—Gunung Batukaru, Gunung Batur, dan Gunung Agung.
Keempat danau tersebut adalah Danau Tamblingan, Danau Buyan, Danau Beratan, dan Danau Batur, yang tidak hanya menjadi sumber kehidupan, tetapi juga menjadi pusat spiritual dan simbol keharmonisan kosmis masyarakat Bali.
Menurut para ahli geologi, terbentuknya danau dari kawah gunung api adalah proses alami yang sangat panjang dan kompleks.
Letusan dahsyat yang mengoyak permukaan bumi, membentuk cekungan raksasa, yang kemudian perlahan-lahan terisi air dari hujan dan mata air pegunungan.
Proses ini memakan waktu ribuan hingga jutaan tahun. Maka, kehadiran empat danau vulkanik dalam satu pulau kecil seperti Bali merupakan fenomena langka dan salah satu keajaiban geologis di dunia.
Tiga danau kembar di dataran tinggi Bedugul—Tamblingan, Buyan, dan Beratan—bersemayam di bawah naungan Gunung Batukaru yg sangat disucikan, yang menjulang sebagai penjaga hutan, air, dan kesuburan.
Di sisi timur, Danau Batur menghuni kaldera raksasa hasil letusan purba dari Gunung Batur, yang merupakan salah satu kaldera terbesar dan paling aktif di Asia Tenggara.
Sementara itu, Gunung Agung, gunung tertinggi dan sangat dusucikan bagi umat Hindu Bali, berdiri megah sebagai poros spiritual pulau, menghubungkan ketiga titik kekuatan alam lainnya dalam keseimbangan kosmis.
Pulau Bali—pulau kecil dengan jiwa besar, tempat lahirnya keajaiban alam dan spiritual dalam satu kesatuan harmonis.
Di sinilah letusan dan kehancuran purba disublimasikan menjadi ketenangan dan kesucian.
Sebuah mahakarya alam semesta, di mana danau-danau tidak hanya memantulkan bayangan langit, tetapi juga memantulkan kedalaman jiwa.