Selasa, 21 Mei 2024

Melik Durga

 

Melik Durga atau Melik Layah Bebed biasanya dikenali dari ciri-ciri yang paling menonjol, yakni pada lidah terdapat bercak warna hitam. Bercaknya itu pun ada yang berbentuk tertentu sehingga ceciren atau ciri tersebut bisa dinyatakan melik, sebab tidak semua bercak hitam pada lidah disebut Melik Durga.
.
Melik Durga dan melik lain pada umumnya dianggap kutukan yang mendatangkan mara bahaya. Tidak sepenuhnya benar demikian. Melik justru adalah anugerah yang didapatkan baik dari karma, kelahiran dan bisa jadi dikehidupan sebelumnya mereka yang melik belajar banyak hal tentang ilmu-ilmu rahasia. Yang jelas semua itu anugerah dari Sanghyang Widdhi sebagai Sangkan Paran.
.
Melik adalah tanda rahasia yang merupakan anugerah sehingga orang yang memiliki milik bisa dipastikan memiliki kemampuan-kemampuan supranatural, spiritual dan kemampuan istimewa lainnya. Akan tetapi, daya-daya tersebut terkadang belum bisa mereka arahkan dan kendalikan sehingga wadah tubuh belum siap menerima berkah melik tersebut. Ketidak mampuan mengarahkan daya-daya tersebut terkadang berdampak kurang baik terhadap diri si melik.
.
Bagi orang Melik Durga atau Layah Bebed misalnya, ia dapat dipastikan memiliki daya kekuatan atau sakti lebih dominan. Ucapannya bisa saja Siddhi sehingga apa yang diucapkannya disertai dengan emosi, maka akan terjadi. Olehnya yang memiliki melik ini mesti bisa mengontrol ucapannya. Bisa dibayangkan jika kekuatan itu diarahkan atau terarah dengan baik, maka akan berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain.
.
Tidak hanya itu, bagi perempuan yang memiliki Melik Durga cendrung memiliki aura yang menarik sehingga bisa membangkitkan berahi lawan jenis. Energi api dalam wujud berahi bisa saja membakar dirinya dan orang lain. Kekuatan yang demikian terkadang menjadi penyebab orang yang Melik Durga selalu menghadapi masalah asmara dalam hidupnya. Singkatnya, banyak orang suka banyak pula memusuhinya. Tetapi, jika kekuatan tersebut dapat diarahkan dengan baik, maka akan berdayaguna dalam melakoni kehidupan.
.
Dan, daya kekuatan yang bisa dinyatakan kekuatan istimewa jika diarahkan dengan baik bagi ia yang memiliki Melik Durga adalah ia akan bisa mempelajari Ilmu Pangiwan dengan cepat. Belajar ilmu Liak (linuih ikang aksara) akan lebih mudah dan bukan tidak mungkin kekuatannya menyamai tingkatan ilmu Liak Sari.
.
Namun akan terbalik, jika ia yang memiliki Melik Durga tidak bisa diarahkan atau mengarahkan kekuatannya sendiri. Maka, ia akan cendrung ditarik oleh kekuatan meliknya untuk menjadi Wisya, Desti dan Aji Wegig tanpa ia sadari. Terlebih yang melik Durga unsur api sangat dominan di dalam tubuhnya. Api adalah sarwa bhaksa, bisa saja ia akan membakar semuanya. Jadi, Melik Durga atau melik apapun, bukan musibah, kutukan dan sejenisnya tetapi berkah dan anugerah, syukurilah. Yang perlu dilakukan adalah meruwat dan diarahkan energi tersebut dengan baik.
 

PELANGKIRAN

 

* Pelangkiran berasal dari kata "langkir" yang artinya tempat memuja.
Pelangkiran adalah niyasa yg bersifat umum dan tergantung letak juga tujuan pemujanya menstanakan betara/dewa siapa yg ingin dipuja.
* Beberapa jenis pelangkiran seperti:
1.diwarung/toko adalah stana untuk Betari sri sedana sebagai pemberi kemakmuran
2.disumur/kran air untuk stana betara wisnu
3.didapur untuk stana betara brahma
4.dikamar tidur untuk stana kandapat
5.dipasar tempat jualan untuk stana betari dewa ayu melanting
6.dikantor/tempat pertemuan untuk stana bhagawan penyarikan atau dewi saraswati.
Juga fungsinya untuk anak baru lahir sampai upacara 3 bulan maka dibuatkan plangkiran dari ulatan lidi berbentuk bulat dan digantung diatas tempat tidur. Itu adalah stana sanghyang kumare,manifestasi perwujudan betare siwa tugasnya mengemban sijabang bayi. Setelah upacara 3 bulanan sampai beranjak dewasa - tua selanjutnya diganti dgn bentuk tempel ditembok sebagai stananya kandepat (bukan hyang kumara lagi). Plangkiran juga untuk "pengayatan" sanggah merajan yg jauh dr perantauan.
Didalam lontar "aji maya sandhi" disebutkan ketika kita sedang tidur maka kandepat itu kluar dr tubuh dan bergentayangan.ada yg duduk di dada,diperut,tangan dsbnya..sehingga mengganggu tidur kita. Oleh karna itu perlu dibuatkan pelangkiran sebagai stananya agar mereka dpt melaksanakan tugas sebagai penunggu urip.
Setiap kita meninggalkan rumah sempatkan diri untuk berpamitan ke kandepat dan disaat pulang usahakan membawa oleh2 makanan/kue dll sekedarnya saja sebagai tanda INGAT!
Juga disaat gajian atau uang hasil dihaturkan dulu disitu dan biarkan semalam. Keesokan paginya baru dilungsur. Setiap mau tidur luangkan waktu agar memanggilnya untuk menjaga kita disaat tidur
 

Sanghyang Aji Saraswati

 

Dalam laku Tantra Kadyatmikan dan Kwisesan, Sanghyang Aji Saraswati tidak saja dipuja dalam sosok atau citra dewi tertentu, tetapi ditempatkan di dalam diri sebagai Sanghyang Aksara Jati atau Sanghyang Sastra Jati dalam wujud aksara yang sangat rahasia. Dimanakah beliau ditempatkan di dalam tubuh? Beliau mendiami beberapa tempat yang sangat rahasia di dalam diri. Saya akan menceritakan satu tempat saja.
.
Sanghyang Aji Saraswati menempati pangkal lidah (bogkoling jihwa). Di tempat itu beliau berdiam dalam wujud aksara yang sangat rahasia. Pangkal lidah atau Campuhan yang menghubungkan antara Sanghyang Tri Nadi dengan lubang hidung, kepala dan mulut. Pada titik itulah disebut Marga Tiga atau pertigaan tubuh dimana persipangan jiwa ketika jiwa akan terlepas dari raga. Konon, ketika jiwa akan terlepas dari raga, di pangkal lidahlah ia menunggu sari nafas atau prana untuk mendorong jiwa terlepas bisa melalui ubun-ubun, mata, mulut, hidung dan telinga. Semua itu bergantung niat.
.
Pada pangkal lidah pula disebut alam Anyastana, yakni batasan antara alam Bapa Akasa dengan alam Ibu Pertiwi. Alam Bapa Akasa dari langit-langit mulut ke atas dan alam Ibu Pertiwi dari cekok leher ke bawah. Pertemuan antara alam Bapa Akasa dengan alam Ibu Pertiwi di pangkal lidah sebagai simbol Sabda di mana Bayu bersatu dengan Idep. Olehnya, Sanghyang Aji Saraswati disebut sari-sari aksara atau sastra pengetahuan dalam bentuk sabda. 
 
.
Jadi, para penekun Kadyatmikan dan Kawisesan ketika hendak belajar mati (kelepasan), mereka memanunggalkan Bayu ( energi ) dan Idep ( pikiran ) pada Sabda ( getaran ). Getaran ini menjadikan Tirtha Panca Pawitra yang berdiam di otak mengalir melalui Sanghyang Trinadi dalam Sabda Ang, Ung dan Mang. Kemudian, tirtha menyentuh ujung api yang menyala dari dasar tubuh. Ketika air bertemu dengan api, maka munculah asap atau kukus (Sang Atma). Asap atau kukus ini kemudian naik sampai di pangkal lidah dan di sana menyatu dengan sari nafas atau udara. Pada akhirnya di pangkal lidah terjadi campuhan antara asap, air atau tirtha dengan api dan udara atau angin. Setelah itu tinggal diniatkan asap yang sudah bercampur api, air dan angin hendak mengarah ke lubang pintu yang mana untuk terlepas.
.
Sebelum sampai pada itu, alami dan masuki tubuh untuk bertemu dengan kediaman Sanghyang Aji Saraswati di dalam diri. Untuk itu, Tantra Kadyatmikan dan Kawisesan mengarahkan kita untuk melampaui sosok atau citra Sanghyang Aji Saraswati, sebab sejatinya beliau bukan sosok tetapi aksara rahasia yang berdiam di pangkal lidah. Jadi, bisa saja aksara itu menakutkan, tidak sebagaimana sosok yang selama ini dicitrakan bahwa Dewi Saraswati itu cantik.
*Rahajeng Rahina Saraswati, semoga Sanghyang Aji Saraswati memberikan karunia sari aksara dan sastra pengetahuan.
~ sandi reka ~
 

SANGHYANG SHRI ASTAPHAKA ADALAH HASIL PEMBANGKITAN KESADARAN BUDDHI PADA HARI SUCI KUNINGAN DI PURA SAKENAN.

 

- [x] #penggalian dari Lontar Tutur Budha Sawenang
Sramat purnam bhawa bhawanam, goh dawak wisanam jagatrayam asri jubisyah…
artinya ; penyebab kehidupan pada dunia ( buwana agung ) dan tubuh fisik manusia ( buwana alit ) adalah sama, begitupula kesadaran pada alam nyata dan sunyata.
Memahami kesamaan pada kedua buwana dan hakekat hidupnya, maka bisa dikatakan kita telah mampu melihat serta mengetahui apa yang terjadi diluar dan juga didalam sebagai kesadaran yang sama, maka dapat dikatakan kita telah mencapai “samma sambodhaya” atau dikenal KAHUNINGAN.
Dikatakan juga kita telah mencapai kebijaksanaan, penuh dengan laku kesucian, penuh dengan kebenaran, juga penuh dengan keunggulan.
Memperoleh kesadaran buddhi ini merupakan jalan pribadi-pribadi, yang ditunjukan oleh seorang guru, kepada siswanya dalam wujud YOGA.
Mamun setelah dirasakan baik sebagai keputusan hidup ( pandhita ), maka jalan itu adalah sepenuhnya milik siswa tersebut, dan berhak pula melantunkan segala macam PUJA, dari wedha sor, madhya weda sampai weda luhur.
Inilah jalan utama Sanghyang Budha Sawenang yang sangat rahasia dan penuh dengan kualitas sastra-jnana yakni kemampuan pengindahkan dirinya dan juga buwana dalam satu alunan bathin pada pulau yang sangat indah.
Istilah SAKENAN yang berada pada pulau yang penuh kemulyaan, namun sejatinya merupakan tempat yang merupakan penjabaran ajaran budha sawenang oleh guru yang dikenal Shri Sakyamuni kepada Shri Astapaka.
Perpaduan yoga dan puja menghasilkan mamfaat paramaguhya yang sempurna, sampai pada pencapaian para praktisinya siddhi dalam berucap, bertindak dan berfikir, maka dikenal Sanghyang Siddhiwakya.
Tahapan ke-4 pencapaian Sanghyang Budha Sawenang memberi ruang yang sangat padat pada dominasi kanuragan sebagai lintasan spiritual pada siswanya.
Fokus pada olahan energi pada terbentuknya sumsum tulang yang sehat pada tulang punggung belakang, tulang kaki, tulang tangan serta tulang tengkorak menyebabkan tersedianya potensi sel darah merah, sel darah putih, kalsium serta unsur pertumbuhan yang lain semakin maksimal.
Maka dari itu wajar sekali para praktisinya memiliki kesuksesan hidup yang sempurna, yang nyata pada kehidupan nyata, entah itu kemampuan yang berfungsi kedalam diri pribadi ( asta aradhanasiddhi ), maupun yang dapat ditunjukan keluar diri pribadi sang praktisi ( asta radhanasiddhi ).
Kedua jenis kesiddhian ini dinyatakan sebagai Asta Vajra dan siswanya dikenal dengan Sanghyang Jinna.
 
Kedisiplinan melakukan yoga dan puja, khususnya sebagai masyarakat beragama, yang diarahkan pada kehidupan yang harmonis bersama seluruh mahluk hidup, serta selalu disiplin melaksanakan yajnya, akan merangsang pertumbuhan masyarakat yang adil dan makmur, sehat, bahagia dan sejahtera.
Model ajaran ini sangat efektif dijaman Kaliyuga ini sebagai penyangga lembaga umat yang mengalami degradasi politik dan motif keserakahan dalam bingkai carut marut berbangsa dan bernegara.
“Gyah samudramyam jaset, satat bikam, danuh bhaskaram”.
Walaupun memiliki pengetahuan seluas samudra, kekuasaan seluas bidang cahaya matahari, namun tidak lebih baik dari mereka yang memiliki pikiran tidak pernah bingung.
Sehingga tidaklah penting ukuran pengetahuan setingkat sarjana, sejauh negara dan semahal biaya…..karena penyangga kesadaran tentang hidup sejati sangat kosong.
Ditambah lagi dengan perkembangan ajaran sampradaya yang merangsuk semakin nyata, bagaikan benalu yang hidup pada cabang-cabang pohon, maka pendalaman pada prinsip kesucian, kesiddhian bathin dan pengetahuan pada lontar dan tutur-tutur kuno seperti tutur Aji Bang Banas, tutur Guhya Wijaya Duratmaka, sampai tutur Tawang Suwung wajib dipakai disiplin dalam hidup sembari bekerja untuk kebutuhan hidup keluarga.
Kesempurnaan menyerap pada ajaran dalam tutur tersebut membuat umat tidak pernah akan takut atau mundur dari desakan perkembangan ajaran sampradaya yang jauh lebih rendah kualitasnya dibandingkan ajaran leluhur kita yang amat sempurna.
Maka itu sebagai umat yang cerdas dan kuat, dikenal ksatria brahmana, merupakan hal yang paling mutlak disaat ini untuk kembali pada ajaran siwa-budha sebagai keputusan leluhur sebelumnya, yang dikenal Siwa Sidantta.
Bagaimana kita mampu menjaga ajaran leluhur jikalau kita tidak pernah menggali ajaran-ajarannya *)?
Aspek prilaku menyucikan diri, nangun yajnya dan berbuat baik secara maksimal, jikalau tidak pernah melakukan penggalian berupa mengunjungi para guru, brahmana dan para pengawi yang mumpuni dibidang sastra dan jnana, bagaimana mungkin dapat menghasilkan kualitas bathin yang sejalan dengan apa yang dilakukan, yang dapat hanyalah “ seremoni latah “ atau sekedar menjalankan tradisi tanpan memahami makna dan mamfaatnya.
Begitupula ketika membantu masyarakat lain pada saat memperoleh penderitaan, tanpa memahami makna dari “ karma “ maka bantuan kita akan sia-sia, bahkan akan terjadi lompatan karma buruk yang tak terlihat, sehingga karma buruk itu akan pindah secara nyata pada kehidupan pada yang membantu tanpa disadarinya.
Pelayanan yang tulus yang berwujud jnana pada pelaksanaan panca yajnya, yang ditopang dengan kesiddhian merupakan hal yang mendasar untuk memperoleh hasil yang maksimal pada masa kini, baik sebagai bhakta maupun sadhaka.
Kahuningan ini dapat dijadikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan penggalian ajaran, sehingga dapat dijadikan sumber energi pada pembangkitan sumber daya umat, melalui ritual keagamaan yang sangat sederhana namun kaya akan makna dan mamfaat, khususnya untuk “wisudha bhumi bali “ yang memang berpotensi untuk hal tersebut diatas.
Demikianlah paparan sedikit tentang mamfaat dari penggalian tutur Budha Sawenang dalam selipan ajaran Hari Suci Kuningan dan semoga dapat dijadikan dasar dan tanggungjawab kehidupan pada umat yang sedang kebingungan mencari guru dan pengetahuan leluhur yang tersembunyi.
Serta sebagai gambaran sederhana untuk masyarakat serta merupakan ilustrasi ajaran bagi yang sama sekali belum memahami bahkan mengetahui apa itu kesadaran bathin yang ditempuh melalui YOGA dan JAPA yang dikenal Astapaka.
Om Ah Hum
Om Mani Padme Hum
Vajra Guru Shri Sakyamuni Siddhi Hum

Senin, 20 Mei 2024

SOMA ( WAS) KLIWON UYE

 

 
Saat PERGI dan KEMBALINYA PANCA MAHA BHUTA, SANGHYANG SIWA bertemu dengan HYANG GIRI NATHA ,
sering dinamakan HARI PARA DEWA .
TERKUTUKLAH manusia yang tidak memperhatikannya , akan
LUPA INGATAN dan #PENDEK_UMUR .
Wajib !!! ...
Manusia MEMUJA dan YOGA SEMADI
Hari ini, Senin 13 Mei 2024 atau Soma (wadon, 4) Was (wadon, 9) Kliwon (Lanang, 8)wuku Uye, urip Tri Premana hari ini adalah 21 yang artinya ;
Pikiran :Pugeran,
Kesimpulan : Manusa,
Langkah :Pati
Sarana :
DiPelinggih .....
• Pecanangan , Buratwangi,
• Wangi – wangian ,
Bungkak Sudamala ❤
• Dupa Stangi .
Di Teben .......
• Nasi Kepelan Putih 3 buah maiwak Bawang Jahe, katur maring Sang Tiga Bhucari.
• Segehan Putih 5 tanding maiwak Putih taluh, katur maring SangKala Kali magenah ring Purwa.
• Segehan manca Warna 8 tanding maiwak sehe wenang, katur maring SangKala Sadwara megenah ring Madya.
• Segehan Selem 4 tanding maulam Taluh bekasem, katur maring SangKala Mangap Megenah ring Uttara.
• Api Takep ,
• Tetabuhan ( Arak, Tuak , Brem )
Di Pintu Masuk Sanggah / Rumah ,
• Segehan Manca warna
• Burat Wangi
Ong Rahayu
®Warih Mula Keto


Minggu, 19 Mei 2024

Tedung simbolik peneduh bhakta

  


Tedung, wastra dan atribut lainnya di tempat suci, menandakan akan ada upacara. Tedung menjadi simbolik peneduh bhakta.
Tedung yang ada di pura, juga sebagai Ista Dewata. Bahkan dapat juga sebagai windu, yang terdiri atas bhur, bwah, swah, yang mengayomi ketiga jagat (dunia)
Bentuknya yang bulat menjadi simbol menyeluruh atau universal karena perlindungan dan kedamaian diharapkan ada di seluruh dunia.
Tedung juga sering dikaitkan dengan makna gunung sebagai peneduh dunia dan melindungi bhakta.

Istilah tedung agung dan robrob dibedakan atas lenter/ider-ider yang dikenakan pada sisi penggir tukub/atap tedung dengan posisi berjuntai. Kalau Tedung robrob, pada sisi pinggirnya diisi atau dihiasi dengan anyaman atau sulaman dari benang. Sulaman atau rajutan yang menghiasi pinggiran tedung robrob menggunakan benang wol yang berwarna, seperti hitam, putih, kuning merah maupun hijau. Sedangkan tedung agung, pada hiasan tepi pinggir dijuntai dengan kain warna atau prada yang lazim disebut dengan ider-ider. Kain yang berjuntai tersebut terdiri dari dua lapis/warna dengan ukuran kain atas/depan lebih pendek dari pada yang dibagian bawah/tengahnya.
Setiap kerangka Tedung memiliki makna. Bahkan mempunyai filosofinya yang berbeda juga. Sebuah iga-iga tedung, lanjutnya, bermakna sebagai pangider bhuana (lambang dunia) yang berfungsi sebagai peneduh jagat, karena bentuknya yang bundar dan sesuai dengan arah mata angin.
“Sebelum dipakai, Tedung baru harus diupacarai terlebih dahulu, menggunakan banten pangulapan. Pada Tedung juga diisi sasap yi janur dan daun dapdap. Setelah itu, baru bisa digunakan, karena sudah dianggap suci.

SANG HYANG CANDRA Dewa Bulan

  


Ini adalah kidung yang sangat sering dikumandangkan ketika ada persembahyangan dan upacara lainnya. Maknanya begitu medalam, dan sangat relevan dengan kehidupan kita. Sangat cocok bukan saja untuk orang tua, tapi juga bagi anak-anak, generasi yang akan datang..
Sang hyang Candra taraanggana pinaka dipa
Memadangi ri kaala ning wengi
Sang hyang Surya sedeng prabhasa maka dipa memadangi ri bhumi mandala
Widya sastra sudharma dipanikanang tri bhuvana sumene prabhaasvara
Yaning putra suputra saadhu gunawaan memadangi kula wandhu wandhawa
(Sumber: Kekawin Nitisastra sarga IV.1)
Seperti Bulan dan bintang menerangi pada waktu malam.
Matahari yang sedang bersinar menerangi wilayah Bumi.
Ilmu pengetahuan, ajaran dan Dharma (Kebenaran/Aturan) memberikan penerangan pada ke tiga Jagat Raya.
Anak baik, yang berbudi luhur dan berguna, menerangi keluarga dan kerabat.
Sumber dari kidung atau nyanyian ini termuat dalam Kekawin Nitisastra yang banyak berisi berbagai ajaran, etika, tuntutan, dll ibarat sebagai penerang dalam menjalani kehidupan.. dan diri kita yang penuh dengan kegelapan..
Sebagai awal, saya mencoba menterjemahkan kata-per-kata yang saya ambil dari buku/referensi dalam Daftar Pustaka, sbb:
Arti kata per kata
Sang hyang Candra – Dewa Bulan; taraanggana – bintang ; pinaka – sebagai; dipa – lampu, cahaya;
Memadangi – menerangi; ri kaala – pada saat; ning – di saat; wengi – malam;
Sang hyang Surya – Dewa Surya, Matahari; sedeng – sedang; prabhasa – menjadi terang; maka – oleh karena; dipa - lampu, cahaya memadangi - menerangi ; ri bhumi – di Bumi; mandala – lingkaran, wilayah
Widya – ilmu pengathuan; sastra – ajaran Sastra (agama); sudharma – kebenaran, hukum; dipanikanang – sebagai lampu, cahaya; tri bhuvana - tiga dunia; sumene – menerangi; prabhaasvara – bersinar;
Yaning – jika; putra – anak; suputra – anak yang baik; saadhu – suci, berbudi luhur; gunawaan – berguna, pandai; memadangi – menerangi; kula – kulawarga/keluarga; wandhu wandhawa – sanak saudara, kerabat.
Bandingkan dengan lontar Slokantara, yang mengandung hal yang sama:
Sarwaridiipakarscandrah prabhate rawadipakah,
Trilokye dipako dharmah suputerah kuladipakah
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Kawi
Kalinganya, yan ing wengi Sang Hyang Candra sira pinaka damar, Yan ring rahina, Sang Hyang Rawi pinaka damar, Yan ring tri loka, Sang Hyang Dharma pinaka damar, Kunang yan ing kula, ikang anak suputra puika damar, ling ning aji
(Slokantara 24 (52))
Terjemahan Bahasa Sansekerta
Bulan itu lampu malam, Surya itu lampu dunia di siang hari, Dharma ialah lampu bagi ke tiga dunia ini, dan putra yang baik itu cahaya keluarga.
Terjemahan Bahasa Kawinya
Waktu malam, Bulanlah sebagai lampunya, di siang hari Mataharilah lampunya, di ketiga dunia ini, Dharma lah sebagai lampunya; dan dalam keluarga, putera yang baik itulah cahayanya. Demikian kata kitab suci.
Kedua lontar Bali/Nusantara: Kekawin Niti sastra dan lontar Slokantara, sepertinya bersumber dari Canakya Nitisatra, berbahasa Sansekerta.
Ekenapi suputrena
Vidya yuktena sadhuna
Ahladitam kulam sarvam
Yatha candrena sarvari
(Canakya Nitisastra, sloka 16)
Sebagaimana Bulan menerangi malam hari dengan cahayanya yang terang menyejukkan,
Begitulah seorang anak suputra yang berpengatuhuan rokhani, insaf akan dirinya, dan bijaksana. Anak suputra ini menyebabkan seluruh keluarganya selalu dalam kebahagiaan.

Rasanya perlu sedikit ada ulasan, untuk lebih memahamami makna spiritualnya..
Bulan, Matahari dan Bintang sebagai penerang kehidupan kita, baik ketika malam maupun pada siang hari. Jika tidak ada Matahari... maka bumi akan selalu gelap, ya tidak ada siang-maupun malam.. yang ada hanyalah malam gelap gulita.
Peranan Bulan-Matahari dan Bintang adalah sebagai kalender.. baik yang didasarkan peredaran Bulan mengelilingi Bumi kita yang lamanya 1 bulan, dikenal dengan Sasih – Sasi (Bulan) atau Month yang juga artinya Bulan. Sitem kalender yang atas dasar bulan ini dikenal dengan Sistem Lunar. Kita banyak merayakan upacara.. pada sasih tertentu.. terutama Purnama pada Sasih tertentu. Misalnya Sasih Kapat, Sasih Ke dasa, dll. Purnama-Tilem dan Gerhana Bulan, adalah waktu yang dipandang suci untuk sembahyang. Matahari juga dijadikan sebagai kalender, dikenal dengan Solar Sistem, dimana Bumi mengitari Matahari selama 1 tahun. Bintang juga, misalnya Bintang Kartika, juga dipakai pedoman dalam kehidupan kita. Dari ke tiga benda langit ini dijadikan sebagai pedoman dalam sembahyang, ala-ayuning devasa.. dll jadi tepatlah Bulan-Matahari-Bintang sebagai penerang dalam kehidupan kita.
Vidya atau ilmu pengetahuan, Sastra atau ajaran agama dan Dharma... inilah pedoman, petunjuk dan patokan.. sebagai penerang dalam menjali kehidupan di ketiga dunia termasuk di dunia ini dan kelak pada dunia lain. Tiga dunia tsb adalah Bhur, Bhuwah dan Swah.. dikenal sebagai Tri Loka.. yang mengawali mantra Gayatri. Ilmu Pengetahuan dan teknologi seperti Sosial – Ekonomi, Politik, Seni.. Teknologi, Fisika, dll adalah Vidya, pengetahuan untuk kehidupan material, sementara untuk kehidupan agama-spiritual adalah sastra dan penerapannya yng dikenal dengan Dharma.
Pustaka suci Brahma Sutra atau Vedanta Sutra yang ditulis oleh Badanarayana atau Maha Rsi Vyasa yang menulis wiracarita Mahabharata dan banyak Purana, menyatakan sastra lah yang yang seharusnya menjadi petunjuk dan pegangan dalam melaksanakan ajaran-ajaran Agama
Sastrayonitvat
(Brahma sutra, sutra 3)
Sastra atau kitab suci (sajalah) jalan menuju kepada pengetahuan yang benar
Jadi sastra atau kitab suci lah yang dipakai pegangan utama yang menuntun manusia Hindu dalam kehidupan sehari-hari dan bidang agama, bukan sekedar olah pikir, spekulatif dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa saja bertentangan dengan agama atau Dharma. Atau kadang lebih percaya kepada pewisik, kerawuhan, dll yang mungkin belum tentu adalah sabda Betara atau Dewa.
Pandangan sastra Bali-Nusantara
Bagaimana dengan pelaksanaan agama (dan adat) terutama di Bali?
Secara umum, seperti dimuat dalam lontar Aji Dresti Loka Kretih, menyatakan bahwa dalam menjalankan agama dan adat, khususnya di Bali, hendaknya berpedoman pada Catur Dresta: Niti Agama, Purwwa Dresta, Loka Dresta dan Desa Dresta.
Mangkana temahan ira, apan karaketan letuh sariranya, hetunya yatna pwa sira aniti kramaning Agama Siwa Tirtha, hetuya Sang Hyang Siwaagni juga maka pamari puurnna ning merana kabeh, hana ring sang pandhita, apan sang pandhita Siwa Dharmma putusing tatwa ajnaana, wruhing pasurupaning gring marana, kabeh, anggawe kretta supuurnnaning raat, anresti upapatting wwang kabeh, de nira padha trepti Niti Agama, manuting Purwwa Dresta, Loka Dresta, Desa Dresta, ika tang Catur Dresta, maka sipating wwang amrinh hayuning nagara, wwang sariranya samangke, wwang katekaning kapatyanya, haywa tan weruh ri katatwaning sariranya, mwang sangkan paranya, bhuwanaagung mwang bhuvanaalit.
(lontar Aji Dresta Loka Kretih)
Demikian jadinya, karena dilekati kekotoran tubuhnya, karena itu waspadalah mengikuti peraturannya Agama Siwa Tirta, sebab itu Sang Hyang Siwagni juga sebagai penyempurnaannya (pembasmiannya) hama semuanya, ada pada sang pendeta, karena sang pendeta Siwa Dharma telah sempurna dalam tatwajnana (pengetahuan filsafat), mengetahui penyusupan penyakit hama semua, menjadikan aman tenteram lebih sempurna dunia ini, menjadi hakim semua orang, oleh karenanya sama-sama puas mengikuti Agama, Purwwa Dresta (tradisi kuna), Loka Dresta (tradisi dunia), Desa Dresta (tradisi setempat), itu disebut Catur Dresta (empat tradisi), sebagai patokan mengusahakan kesejahteraan negara, dan dirinya sekarang san sampai kematiannya, janganlah tidak mengetahui akan sejatinya diri, dan asal serta tujuannya, bhuwan agung (jagat raya) dan bhuwana alit (diri manusia).
Jadi menurut lontar Aji Dresta Loka Kretih, untuk mensejahterakan dunia dan diri manusia, hendaknya berpedoman pada Agama (Sastra agama), dan berbagai dresta (pandangan atau tradisi), seperti Purwwa Dresta (tradisi kuna), Loka dresta (tradisi dunia), dan Desa Dresta (tradisi desa setempa).
Dilihat dari kedudukan, dan otoritasi atau kewenangan perincian dari catur dresta tersebut, maka Sastra Dresta berada dalam keduduklan tertinggi begitupula dengan memiliki kewenangan yang tertinggi dalam menentukan benar-salah, baik-buruk, patut-tidak patut dalam mematuhi agama, baru kemudian diikuti dengan dresta yang kedudukannya lebih rendah: Loka Dresta, Purwwa Dresta dan terakhir Desa Dresta. Bukan sebaliknya, yang mana Desa Dresta atau tradisi setempat desa ”mengalahkan” sastra dresta atau agama.
Sebaliknya, ada peringatan bagi yang tidak mengindahkan ajaran Veda, apalagi yang melecehkannya.
Bahkan pustaka Chanakya Nitisastra, lebih tegas lagi memberikan peringatan bagi orang-orang yang melalaikan Veda, apalagi sampai meremehkan atau menghina ajaran Veda:
aanyatha vedapandityam
sastramacaramansyatha
anyatha vadacchantam
lokah klisyanti canyathad
(Chanakya Nitisastra, sloka V.10)
Meremehkan kebijaksanaan ajaran Veda, menghina tingkah laku/kegiatan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Sastra / Veda, menjelekkan orang yang selalu berkata lembut bijaksana, tidak ada lain lagi inilah yang menyebabkan kekalutan Dunia.
Kembali pada baris terakhir dari kidung Kekawin Nitisastra tersebut,
Seorang anak, seorang Putra yang suputra, sepatutnya adalah orang yang berguna, bermanfaat bagi keluarga, masyarakat dan negara. Bukan yang menjadi beban, bersifat konsumtif, yang selalu memenuhi kama (nafsu – keinginan) dan harta, tetapi sebaliknya adalah anak yang produktif, yang bekerja dan menghasilkan sesuatu yang berguna. Disamping itu, seorang anak yang sadhu, orang yang suci karena mampu mengendalikan indrianya. Orang sadhu, adalah orang yang sidha, orang yang berhasil dan memiliki sidhi, karena telah menjalankan sadhana dengan tekun. Konon, seorang anak disebut Putraka, karena anak yang suputra akan membebaskan leluhurnya dari siksa neraka.
Astungkara !!
Made Astana
Daftar Pustaka
1. Miwanto”Kekawin Nitisatra – teks, terjemahan dan komentra”, Penerbit Paramita Surabaya, 2015.
2. I Made Darmayasa “Canakya Nitisastra “, Yayasan Dharma Narada, 1995
3. Prof Dr. Tjok Rai Sudharta, M.A. “Slokantara – Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjemahan dan Ulasan”, Upada Sstra, 1991.